Category: Tentang Ogi


Oleh : ANDY SYOEKRY AMAL

ULAH anggota Pansus Angket Skandal Century dari Partai Demokrat Ruhut Sitompul yang memanggil Pak Jusuf Kalla dengan sebutan “Daeng” boleh jadi bermaksud baik atau sebagai penghormatan. Namun bagi orang Bugis, tidak selamanya penyebutan kata “Daeng” itu dapat diterima baik. Buktinya, beberapa anggota Pansus lain yang kebetulan berdarah Bugis seperti Faisal Akbar dan Andi Rahmat merasa tersinggung dan keberatan. Juga sekelompok mahasiswa di Makassar melakukan aksi demo mengutuk ulah Ruhut Poltak sitompul tersebut. Apa, sih, makna “Daeng” yang sesungguhnya?

Sebelum saya menguraikan masalah ini mungkin saya perlu menguraikan latarbelakang pengetahuan saya mengenai hal ini. Saya memahami sedikit karena kebetulan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat dan budaya Bugis. Saya berasal dari Bone, sama dengan Pak JK. Sedangkan Bone adalah salah satu dari tiga kerajaan utama di Sulawesi Selatan, bersama Gowa dan Luwu. Di Bone, kebetulan saya pernah menangani sanggar budaya “Saoraja” (Istana). Sedangkan di Luwu, kebetulan pula saya menikah dengan cucu Raja Luwu Andi Djemma yang pahlawan nasional itu, dan pernah menjadi sekretaris pribadi Datu (Raja) Luwu ketika mertua saya Andi Achmad Opu To Addi Luwu (almarhum) memangku jabatan sebagai Datu Luwu tahun 1994-2002.

Yang saya ketahui, masyarakat Bugis agak ketat memegang adat yang berlaku, utamanya dalam hal perlapisan sosial. Pelapisan sosial masyarakat yang tajam merupakan suatu ciri khas bagi masyarakat Bugis. Sejak masa pra Islam masyarakat Bugis mudah mengenal stratifikasi sosial. Di saat terbentuknya kerajaan dan pada saat yang sama tumbuh dan berkembang secara tajam stratifikasi sosial dalam masyarakat. Startifikasi sosial ini mengakibatkan munculnya jarak sosial antara golongan atas dengan golongan bawah.

Dalam suku Bugis jaman dulu dikenal 3 strata sosial atau kasta. Kasta tertinggi adalah Ana’ Arung (bangsawan) yang punya beberapa sub kasta lagi. Kasta berikutnya adalah To Maradeka atau orang merdeka (orang kebanyakan). Kasta terendah adalah kasta Ata atau budak. Hanya orang-orang yang berkasta Ana’ Arung dan To Maradeka yang berhak memberikan nama gelar pada keturunannya. Sementara kasta Ata tidak berhak untuk menggunakan nama gelar. Bagi bangsawan Bugis, gelarannya adalah “Andi“, sedangkan bagi To Maradeka bergelar Daeng.

Namun dalam perkembangannya, paggilan “Daeng” saat ini memiliki makna yang beragam. Bisa berarti kakak, bisa pula bermakna kelas sosial. Namun demikian penggunaannya harus berhati-hati. Apalagi saat ini, penggunaan kata Daeng untuk memanggil seseorang sering ditujukan untuk masyarakat dengan kelas sosial tertentu. Misalnya, daeng becak (penarik becak), daeng sopir pete-pete (sopir angkot), daeng kuli bangunan dan lain sebagainya.

Saya juga pernah mengalami seperti Pak JK. Suatu ketika ada seseorang yang memanggil saya dengan sebutan daeng. Saya sih tak mempersoalkan. Saya anggap itu wajar, apalagi yang memanggil itu usianya lebih muda dari saya. Tapi apa lacur, ternyata ada beberapa orang keluarga yang merasa tersinggung. Ia tidak menerima baik. Dan tanpa sepengetahuan saya, si keluarga tadi mendamprat orang tersebut, bahkan mempertanyakan asal-usulnya segala. Katanya, ia dianggap tidak pantas memanggil Daeng.

Bagi saya, hal seperti ini sebenarnya tak perlu terjadi. Namun bagi keluarga hal ini tidak bisa dibiarkan. Mereka bilang kalau tidak ingin mengikuti aturan adat gunakan saja panggilan umum, misalnya “Pak”, jangan “Daeng”. Akhirnya saya terpaksa mahfum walau hati saya sebenarnya tidak menerima dengan alasan persamaan derajat manusia. Begitulah realitanya sampai hari ini. Sebagian masyarakat Bugis masih memegang teguh adat istiadatnya termasuk berkaitan soal strata sosial ini.

Di Sulawesi Selatan, khususnya penghormatan kepada tokoh Bugis termasuk di dalamnya bangsawan biasanya dilakukan dengan menggunakan kata panggilan “Puang”, bukan “Daeng”. Ini secara umum. Jadi hati-hatilah memanggil orang Bugis dengan sebutan “Daeng”.

Boleh jadi karena itu pulalah di Kompasiana saya lebih suka menggunakan nama depan “Andy”, dan bukan “Andi”…. Biar lebih asyik gitu loh… he he heee… ..

Kutipan dari :
http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/16/hati-hati-memanggil-orang-bugis-dengan-daeng/

Suku Bugis dikenal karena jiwa kebahariannya yang mengesankan hidup dengan kekerasan, dalam artian bekerja keras untuk hidup.

Umumnya warga Bugis mudah sekali beradaptasi dengan daerah yang mereka tinggali. Hal itu tidak terlepas dari falsafah hidup mereka ‘Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung’. Artinya, bahwa orang Bugis bisa menyesuaikan diri dimana pun mereka berada. Tidak heran, Orang Bugis di Malaysia, akan menjadi orang Melayu, begitu juga di Singapura dan Brunai.

Tapi hemat kami, itu tidaklah cukup bagi orang bugis, sebelum merantau pesan dari tetua di tanah Bugis, “bawa diri baik-baik jadilah seperti air”. Ya… orang Bugis itu identik dengan air. ….. lagu Nenek moyangku seorang pelaut ….., identik dengan air, massompe/ berlayar merantau tidak lepas dengan air, sehingga kadang kita orang bugis diberi gelar manusia bahari, pecinta air, pelaut ulung, bahkan ada yang mengatakan dimana ada air (laut) disitu ada orang bugis.

Falsafah yang menjadi spirit orang Bugis adalah air, mungkin kurang tepat kalau pepatah “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung” dari Sumatera kita klaim sebagai falsafah Bugis sebagaimna diungkap Ahsan yang nota bene kita dari Pulau Sulawesi. Falsafah air oleh keluarga besar Orang Bugis dia pegang sampai detik ini.

Pandangan dan keyakinan orang bugis dengan falsafah dan spirit airnya yang nyata kita lihat sehari-hari adalah:

1. Kalau sudah di air (ditengah laut) dimana berpegang bilamana badai datang, orang bugis sebelum berlayar faham betul bahwa kalau sudah ditengah laut hanya satu pegangan, Allah SWT, jadi kemana-mana tidak pernah takut yang ditakuti hanyalah Allah yang punya jiwa dan raga yang melekat pada diri orang Bugis.Begitu layar terkembang perahu mengarungi samudera luas tak bertepi, perjuangan mempertahankan hidup, ikhtiar dengan pengetahuan perbintangan, pengalaman melewati angin dan ombak, menarik layar ditengah belantara dan buasnya badai ditengah laut, setelah ikhtiar, usaha usai, kepada siapa lagi berpegang, hanya Allah yang ada disanubari. Dalam kehidupan sehari-hari diaplikasikan didarat dengan perjuangan menghidupi dan mempertahankan hidup dan keluarga, setiap mengais rezeki tidak pernah lupa pada sandaran hidupnya yaitu Allah SWT.
2. Air ditaruh dimana saja membentuk seperti tempatnya, taruh di baskom membentuk baskom, taruh dibejana bundar membentuk bejana, taruh dikolam bentuk segiempat, artinya orang Bugis selalu menyesuaikan diri dimana dia tinggal sehingga diterima dengan baik oleh lingkungan sekitarnya. = dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung
3. air memberikan kesegaran bilamana diolah dengan baik, untuk diminum dengan memasak atau disterilkan lebih dahulu, mengairi sawah dan ladang dengan bendungan yang baik dan lain-lain, artinya orang Bugis dengan falsafah air, bilamana diperlakukan dengan baik maka akan memberikan manfaat pada lingkungan sekitarnya, win-win solution, mereka diberi tempat maka akan membayar mahal pemberian itu bahkan nyawa taruhannya dengan menjadi laskar dan balatentara perang.
4. sebaliknya air juga bisa menjadi bencana dengan banjir bilamana tumpukan sampah menyumbat alirannya, hutan dibabat sehingga tidak ada penahan dan erosi yang tumpah ke sungai. Sama halnya orang Bugis kalau diperlakukan tidak senonoh maka sifat siri na pacce yang ada pada diri setiap orang Bugis secara naluri bangkit dan kadang badik akan berbicara sampai ajal menjemput untuk memperjuangkan keyakinan siri na pacce.

Orang bugis secara turun temurun sebelum meninggalkan tanah Bugis, orangtua membekali segenggam tanah yang diambil di belakang rumah, begitu sampai ditempat perantauan, tanah tersebut disebar dan disatukan dengan tanah tempat ditinggali, artinya bahwa orang bugis menyatukan dua tanah yang menghasilkan sandang, pangan dan papan yang melekat dan mengalir dalam tubuhnya yang diambil dari saripati tempatnya dia pijak.

Kalau pepatah dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung kadang hanyalah sebatas ungkapan atau lips service belaka, maka kalau orang Bugis falsafah dan spirit air, dimana dia berada jadilah air yang dibutuhkan dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar, tapi juga ada batasan dan rambu-rambu yang menjadi komitmen moril, aja mupakasiri’i

Petuah Moyang tentang air yaitu :

“ de gaga-tu akkatenningetta ri tengana tasi’e saliwenna puangallata’ala yakkitenning, jaji maresopi limbang tasi na tollettu ri pottanang-e “

Kalau sudah di tengah laut (air) tidak ada pegangan kita selain berserah diri (tawakkal), Allah yang kita pegang (yang memberi keselamatan, rezeki dan lain-lainnya), jadi perlu perjuangan untuk bisa sampai dan bertemu dengan daratan

Makna di balik itu sangat jelas bagi perantau Bugis bahwa kalau mau hidup dan bisa bertahan hidup maka peganglah filosofi tersebut sebagai spirit dalam berjuang mengarungi dunia ini sehingga cita-cita dan harapan untuk mnghidupi keluarga secara layak bahkan menjadi saudagar yang sering kita dengar selama ini.

SUKU Bugis Makassar dikenal penaik darah, suka mengamuk, membunuh dan mau mati untuk sesuatu perkara, meski hanya masalah sepele saja. Apa sebab sehingga demikian? Ada apa dengan jiwa karakter suku bangsa ini?

Tidak diketahui apa sebab orang Bugis Makassar terpaksa membunuh atau melakukan pertumpahan darah, biarpun hanya perkara kecil. Jika ditanyakan kepada mereka apa sebabnya terjadi hal demikian, jarang bahkan tak satupun yang dapat menjawab dengan pasti –sehingga dapat dimengerti dengan jelas- apa penyebab ia menumpahkan darah orang lain atau ia mau mati untuk seseorang.

Ahli sejarah dan budaya menyarankan untuk mengenal jiwa kedua suku bangsa ini lebih dekat lagi dengan cara mempelajari dalil-dalil, pepatah-pepatah, sejarah, adat istiadat dan kesimpulan-kesimpulan kata mereka yang dilukiskan dengan indah dalam syair-syair atau pantun-pantunnya.Laksana garis cahaya di gelap malam, apabila kita selidiki lebih mendalam, tampaklah bahwa kebanyakan terjadinya pembunuhan itu ialah lantaran soal malu dan dipermalukan. Soal malu dan dipermalukan banyak diwarnai oleh kejadian-kejadian yang dilatari adat yang sangat kuat. Sebut saja satu, silariang (kawin lari) misalnya, atau dalam bahasa Belanda: Schaking.

Apabila seorang pemuda ditolak pinangannya, maka ia merasa malu. Lalu ia berdaya upaya agar sang gadis pujaan hati Erangkale (si gadis datang membawa dirinya kepada pemuda), atau si pemuda itu berusaha agar gadis yang dipinangnya dapat dilarikannya (silariang). Apabila hal ini terjadi, maka dengan sendirinya pihak orang tua (keluarga) gadis itu juga merasa mendapat “Malu Besar” (Mate Siri’). Mengetahui anak gadisnya silariang, segera digencarkan pencarian untuk satu tujuan: membunuh pemuda dan gadis itu! Cara ini sama sekali tidak dianggap sebagai tindakan yang kejam, bahkan sebaliknya, ini tindakan terhormat atas perbuatan mereka yang memalukan. Oleh orang Bugis Makassar menganggap telah menunaikan dan menyempurnakan salah satu tuntutan tata hidup dari masyarakatnya yang disebut adat.

Selain itu, kedua suku Bugis Makassar tersohor sebagai kaum pelaut yang berani sejak dahulukala hingga sekarang. Sebagai pelaut yang kerap ‘bergaul’ dan akrab dengan angin dan gelombang lautan, maka sifat-sifat dinamis dari gelombang yang selalu bergerak tidak mau tenang itu, mempengaruhi jiwa dan karakter orang Bugis Makassar. Ini lalu tercermin dalam pepatah, syair atau pantun yang berhubungan dengan keadaan laut, yang kemudian memantulkan bayangan betapa watak atau sifat kedua suku bangsa itu. Contoh salah satu pantun:

Takunjunga’ bangung turu’
Nakugunciri’ gulingku
Kualleangna talaanga natolia

Artinya: “saya tidak begitu saja mengikuti arah angin, dan tidak begitu saja memutar kemudi saya. Saya lebih suka tenggelam dari pada kembali.” Maksudnya, kalau langkah sudah terayun, berpantang surut –lebih suka tenggelam- daripada kembali dengan tangan hampa.

Jadi kedua suku bangsa ini memiliki hati yang begitu keras. Tapi, benarkah begitu? Justru sebaliknya, orang Bugis Makassar memiliki hati yang halus dan lembut. Dari penjelasan di atas nampaklah bahwa kedua suku bangsa ini lebih banyak mempergunakan perasaannya daripada pikirannya. Ia lebih cepat merasa. Begitu halus perasaannya sampai-sampai hanya persoalan kecil saja dalam cara mengeluarkan kata-kata di saat bercakap-cakap, bisa menyebabkan kesan yang lain pada perasaannya, yang dapat menyebabkan kesalahpahaman.

Tapi, kalau kita telah mengenal jiwa dan wataknya atau adat istiadatnya, maka kita tengah berhadapan dengan suku bangsa yang peramah, sopan santun, bahkan kalau perlu ia rela mengeluarkan segala isi hatinya –bahkan jiwanya sekalipun- kepada kita.

Jika ada orang Makassar telah mengucapkan perkataan “Baji’na tau” atau “Baji’tojengi tau I Baso” (maksudnya: Alangkah baiknya orang itu atau alangkah baik hati si Baso), maka itu cukup menjadi suatu tanda, bahwa apabila ada kesukaran yang akan menimpa si Baso, maka ia rela turut merasakannya. Ia rela berkorban untuk kepentingan si Baso.

Apabila ada seseorang yang hendak mencelakai atau menghadang si Baso di tengah jalan, jika didengarnya kabar itu, maka ia rela maju lebih awal menghadapi lawan itu, meski tidak dimintai bantuannya. Ia mau mati untuk seseorang, dikarenakan orang itu telah dipandangnya sebagai orang baik. Olehnya, orang Bugis Makassar dikenal sebagai orang yang setia, solider dan kuat pendirian. Meski tak jarang yang memplesetkan kata Makassar sebagai “Manusia Kasar”.

(sumber: promosi pariwisata kota Makassar the Great Expectation to the World)

Kemarin wkt liat sunset di Losari seorang pria tua, bercelana kain dengan baju batik serta topi di kepala menghampiri saya. Ia mengaku kecopetan sesampainya di terminal Malengkeri dari Bantaeng. Dengan berjalan kaki ia pun tiba disini (losari) dan hendak menuju Daya agar bisa kembali ke kampungnya di Sengkang (jalan kaki???). Tiba-tiba saja dia berucap

“Jammiki bilang-bilang `nak, malu-malu ka`, haji ma bela (sambil membuka topi dan memperlihatkan songkok hajinya)” seketika itu juga saya hendak tertawa – so what gitu loh??? –

Seorang teman menghampiri saya, sang bapak langsung pamit dan berlalu begitu saja. Tampaknya Ia malu jika lebih banyak yang tau, “pak haji kecopetan-pak haji jalan kaki”

Bukan rahasia lagi, orang bugis makassar yang memiliki kadar gengsi yang cukup tinggi oleh karena itu mereka cenderung suka pamer kekayaan, jabatan, gelar akademik dan gelar lainnya yang bersifat ascribe. Gambaran inilah yang disebut pojiale. Orientasinya jelas, untuk mendapatkan apresiasi lebih “wah” dari keadaan sebenarnya.

Tengok misalnya, bagaimana orang bugis makassar kerap kali berlomba-lomba menunaikan ibadah haji, tetapi sebagian diantaranya motif utamanya bukan karena panggilan iman tetapi mengharapkan apresiasi dan lingkungan di sekitarnya.

“Tawwa… haji mi…”

“Anaknya Dg. Kebo mau mi naik haji, kasi` naik haji tommi itu Becce.”

“Asssalamu` Alaikum Pak Haji” (wuih… bangganya…)

Sampe-sampe mereka rela naik ke gunung bawakaraeng dengan tenda seadanya demi mendapatkan gelar “haji”

Acara perkawinan pun kerap dijadikan arena pojiale dan pasang ta`ta`. Misalnya saat penyerahan doe balanca, jumlahnya di umumkan dengan pembesar suara hingga di dengar ratusan orang.

“Banyaknya tawwa, seratus juta…”

“Ai.. seratus juta ji doi balanca na…, nanti baco lima ratus juta gang…”

Selain itu di acara perkawinan kita akan melihat pemandangan orang-orang yang menggunakan dan memamerkan aksesoris termahal yang di milikinya. Seperti toko emas berjalan, beberapa kalung dengan ukuran besar tampak menggelantung di luar baju, beberapa gelang berjejer di tangan, semua jari dihiasi cincin dengan mata berlian, bajunya dilengkapi peniti emas. Baju sengaja dijahit tanpa kain alas agar bisa memamerkan kutang mahalnya bahkan katanya (da pernah liat sendiri) ada daerah yang ibu-ibunya menggunakan tali kutang dari emas. Ck ck ck… (geleng-geleng kepala) jagona mamo…

Oh ya… ada juga pemandangan di desa yang sering menyita perhatian saya. Parabola. Benda ini seolah-olah diagung-agungkan masyarakat meskipun kebutuhan lain yang lebih penting belum terpenuhi. Bahkan saya mendengar kabar bahwa mereka yang punya parabola ini tidak memiliki kualitas MCK yang baik.

“Biar mi ndak punya WC yang penting ada parabola”

Ironisnya, malah ajang gengsi dan pojiale ini kerap terlihat di kampus yang notabene merupakan tempat orang intelek. Dosen-dosen sangat bangga dengan gelarnya yang panjangnya hampir satu meter. Malah kadang mereka murka kalau tidak di panggil tanpa gelar atau gelarnya kurang…

Prof. Dr. Ir. H. M. … … …, M.Sc

Dekan …

Ketua …

Ketua …

Dst..

Inilah gambaran kecil karakter orang bugis makassar yang kadang membuat saya tertawa terkekeh-kekeh melihatnya. Karena saya terlahir dan besar di lingkungan bugis makassar bisa jadi saya pun memiliki karakter tersebut… Aduh matimi ja (tepok jidat..)

ULAMA, kyai dalam istilah Bugis disebut gurutta. Jika orang luar Sulawesi Selatan mendengar seseorang warga yang menyebutkan gurutta, apalagi anregurutta misalnya gurutta si Ridwan, maka si Ridwan tersebut termasuk kategori ulama yang disegani. Dalam status sosialnya, adalah posisi yang menempati kedudukan terhormat di mata masyarakat.

Gurutta termasuk ahli agama dan mendapat pengakuan dari masyarakat. Namun masih ada posisi yang lebih tinggi dari gurutta yang disebut Anregurutta. Bila dalam istilah gelar akademik, anregurutta itu diibaratkan sebagai professor.

Pemberian gelar gurutta atau anregurutta bukanlah pemberian gelar akedemik tetapi pengakuan dari masyarakat. Masyarakat mengakui keahlian ulama tersebut dalam pemahaman Al Quran maupun Hadits. Tidak semua yang mengajar agama dipanggil sebagai gurutta, tergantung dari tingkat keilmuannya.

Sebagai mubaligh, ada juga yang tetap dipanggil ustadz, yaitu orang yang membawakan khutbah dan ceramah di masyarakat. Namun belum bisa dijadikan sebagai suatu rujukan bertanya berbagai hal keagamaan. Sementara posisi tingkat gurutta ini dijadikan sebagai tempat bertanya berbagai persoalan dan kehidupan secara umum. Ustadz dikenal hanya dalam kelompok kecil, misalnya kelompok pengajian, ceramah-ceramah umum. Sementara gurutta, dikenal lebih luas bahkan lintas wilayah bahkan di luar dari kecamatannya.

Sedangkan gelar Anregurutta lebih tinggi lagi. Ia menjadi rujukan masyarakat, ustadz dan gurutta. Gurutta apalagi anregurutta itu diakui tingkat keilmuannya juga dari pengamalan ilmu yang diketahuinya. Jadi dengan ilmu dan pengamalan ilmunya hingga mendapat pengakuan dari masyarakat. Jadi ulama bukan lahir dari pendidikan akademis, tapi lahir dari masyarakat. Selain itu, masyarakat bugis juga meyakini adanya kelebihan anregurutta berupa karamah, dalam bahasa bugis disebut makaramaq.

Sementara posisi gurutta atau anregurutta dalam dunia politik, tidak memihak. Sebab jika memihak, maka bukan lagi milik masyarakat, tetapi milik sekelompok orang.

Pedagang, saudagar, pengusaha, atau nama apa pun semacam itu dan perantau adalah ciri yang melekat pada kebanyakan orang Bugis dan Makassar, atau suku- suku lain yang ada di Sulsel dan Sulawesi Barat.

Di hampir semua provinsi di Nusantara ini bisa dipastikan ada orang asal Sulsel di situ dengan pekerjaan utama pedagang atau pengusaha. Terbukti saat Pertemuan Saudagar Bugis-Makassar awal November lalu, ratusan perwakilan saudagar Bugis-Makassar yang berasal dari dalam dan luar negeri ikut hadir.

“Sejak zaman dahulu, orang Bugis memang sudah kental dengan sifat perantau. Di perantauan, mereka terkenal punya semangat juang dan semangat hidup lebih besar. Dalam sejarahnya, sejak dulu hingga sekarang, biasanya begitu masuk di suatu daerah mereka langsung menguasai pasar,” kata Ima Kesuma, Kepala Museum Kota Makassar yang banyak melakukan penelitian tentang orang Bugis.

“Menguasai dalam arti berdagang. Biasanya dari berdagang di pasar, mereka kemudian berdagang hasil bumi, bahkan membeli tanah dan bertani atau berkebun. Setelah itu mereka mulai ke usaha lain-lain,” ungkapnya.

Menurut Ima, satu hal yang membuat orang Bugis bisa diterima di mana-mana dan akhirnya cukup mencolok jika sudah berhasil di perantauan adalah semboyan “di mana tanah dipijak di situ langit dijunjung”.

“Kalau orang Bugis sukses di perantauan, mereka akan kaya dan membelanjakan uangnya di perantauan. Mereka membangun rumahnya juga di rantau dan bukan di kampung. Kalaupun mereka menginvestasi di kampung, biasanya hanya sedikit. Itu pun biasanya dalam bentuk membangun masjid, membangun rumah orangtua, atau semacam itu. Orang Bugis biasanya berprinsip di mana mereka merasa tenang dan nyaman hidup sekaligus berusaha, itulah yang dianggap tanah mereka,” papar Ima.

Kesemua itu pula agaknya yang membuat Christian Pelras, seorang Perancis, akhirnya meneliti orang Bugis, bahkan membuat buku The Bugis. Padahal, awalnya Pelras mau melakukan penelitian tentang budaya Melayu di Malaysia.

“Orang Bugis sebenarnya bukan pelaut, tetapi pedagang. Yang lebih pantas disebut pelaut adalah orang Mandar (suku di Sulawesi Barat). Namun, yang kemudian membuat orang Bugis terkenal sebagai pelaut karena dalam berdagang, mereka banyak menggunakan jalur laut. Mau tidak mau agar sukses sebagai pedagang, mereka juga harus menguasai jalur laut. Makanya mereka juga terkenal tangguh di laut,” papar Pelras.

Itu dibenarkan Edward Poelinggomang, pakar sejarah dari Universitas Hasanuddin. Menurut dia, berbagai laporan dan catatan maupun dokumen di Belanda banyak menyebut kehebatan perdagangan maritim dan Pelabuhan Makassar abad ke-19.

Kata Edward, pada abad ke-17 saudagar-saudagar Bugis/Makassar sudah memiliki Loji (tempat untuk tinggal, berdagang, gudang, dan agen perwakilan) di Manila dan Makau. Dalam catatan sejarah, pedagang Bugis ternyata juga punya andil dalam kemajuan Singapura. Buktinya, kampung pertama yang dibangun di pulau itu adalah Kampung Bugis di daerah Gelam.

Menurut Edward, sebenarnya jika Indonesia dan rakyatnya ingin maju, bercermin pada sejarah dan pengalaman masa lalu, terutama semangat juang dan kegigihan para pendahulu, bukanlah sesuatu yang bodoh. Sayangnya, banyak keteladanan masa lalu yang kini mulai pupus.

Kota Daeng, siapa yang tak kenal julukan ini. Julukan ini disematkan kepada kota Makassar, ibukota Sulawesi Selatan dan sekaligus sebagai pintu gerbang Indonesia bagian timur. Namun saya yakin masih banyak kaskusers yang belum paham tentang makna “Daeng” itu sendiri, utamanya orang-orang yang berasal dari luar pulau Sulawesi.

Pada dasarnya dulu di Makassar terdiri atas 4 stratafikasi sosial yaitu:
1. Kare: Ulama atau Tokoh Religi
2. Karaeng: Raja atau Bangsawan
3. Daeng: Kalangan pengusaha, shah bandar
4. Ata : Budak

Sangat mirip dengan stratafikasi di Bali atau peradaban Hindu yaitu: brahma, ksatria, waisaya dan sudera

Gelar “DAENG” pada hakikatnya tidak didapatkan begitu saja melainkan mengandung makna yang beragam. maknanya antara lain:

1. Penghambaan dari nama Allah, kurang lebih sama dengan nama Islam yang ditambahi dengan Abdul. Misalnya Daeng Patoto. Patoto dalam lontara artinya pencipta, sehingga Daeng Patoto adalah hamba dari yang maha pencipta. Daeng Baca lebih lanjut